Memajukan Kemasan Pangan Berkelanjutan: Pandangan Holistik

  • Des 27, 2023
  • 1,922 Views
Memajukan Kemasan Pangan Berkelanjutan: Pandangan Holistik

Bahan pengemas memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pengawetan, penanganan, pengiriman, dan penyimpanan makanan. Polimer tradisional berbahan dasar minyak bumi mendominasi industri kemasan plastik, mencakup 26% dari total penggunaan polimer dan mengalami peningkatan produksi yang signifikan sejak tahun 1964. Terlepas dari fungsinya, kemasan plastik menimbulkan masalah lingkungan karena emisi gas rumah kaca dan polusi akibat pembuangan yang tidak tepat.

Untuk mengatasi tantangan lingkungan, industri ini sedang menjajaki alternatif terbarukan dan dapat terbiodegradasi, seperti plastik berbasis bio, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan dan menurunkan emisi CO2. Permintaan akan kemasan makanan ramah lingkungan diperkirakan akan meningkat karena konsumen lebih memilih bahan yang dapat didaur ulang dan ramah lingkungan. Namun, masih terdapat ketidakpastian mengenai keunggulan plastik berbasis bio dibandingkan plastik tradisional.

Komisi UE menargetkan 55% resirkulasi kemasan plastik pada tahun 2025 dan menargetkan semua plastik dapat didaur ulang atau digunakan kembali pada tahun 2030, sejalan dengan pendekatan Ekonomi Sirkular. Penilaian keberlanjutan untuk kemasan makanan harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti nol emisi gas rumah kaca, tidak ada daur ulang atau penggunaan kembali, tidak ada limbah di TPA, berkurangnya penggunaan air, penggunaan energi terbarukan, tidak adanya polusi udara, dan tidak adanya bahaya terhadap kesehatan manusia. Meskipun ada kemajuan dalam pengemasan alternatif, belum ada solusi sempurna yang memenuhi semua kriteria keberlanjutan sekaligus mengawetkan dan mengantarkan makanan secara efektif.

Keberlanjutan kemasan makanan

Keberlanjutan kemasan makanan mencakup pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama, khususnya dengan fokus pada dimensi lingkungan. Produksi pangan berkontribusi signifikan terhadap dampak lingkungan, dengan 29% emisi gas rumah kaca global disebabkan oleh produksi pangan. Untuk menilai dampak lingkungan dan keberlanjutan kemasan pangan, baik kemasan maupun pangan harus dianggap sebagai kombinasi kemasan produk. Penilaian Siklus Hidup (LCA) adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari kombinasi kemasan produk sepanjang siklus hidupnya, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti sumber bahan, produksi, pengemasan, distribusi, dan akhir masa pakainya. Model dan pedoman yang berbeda, seperti ISO 14040 dan Buku Panduan ILCD Komisi Eropa, tersedia untuk melakukan LCA. Penilaian tersebut harus mengidentifikasi dampak yang relevan, proses yang menghasilkan dampak lingkungan tertinggi, dan memberikan panduan untuk perbaikan sistem/produk. Penting untuk memasukkan dampak lingkungan tidak langsung dari kemasan pada siklus hidup produk makanan, khususnya pengaruhnya terhadap timbulan limbah makanan, untuk menghindari rekomendasi kemasan yang dapat meningkatkan dampak lingkungan keseluruhan dari kombinasi kemasan makanan karena potensi kehilangan makanan.

Produksi kemasan plastik

Studi Penilaian Siklus Hidup (LCA) menunjukkan bahwa plastik PLA (asam polilaktat) berbasis bio umumnya menawarkan keunggulan dalam perlindungan iklim dan konservasi sumber daya fosil dibandingkan dengan plastik berbasis minyak bumi. Sebuah meta-analisis terhadap 44 kasus material berbasis bio menemukan dampak lingkungan yang lebih rendah dalam kategori perubahan iklim. Namun, pemilihan bahan baku untuk produksi plastik berbasis bio sangatlah penting; penggunaan biomassa generasi pertama seperti jagung atau pati dapat bersaing dengan tanaman pangan untuk konsumsi manusia, sementara bahan baku limbah (generasi kedua) dianggap lebih ramah lingkungan di LCA.

Selain perubahan iklim, dampak lingkungan dari bahan berbasis bio juga mencakup penipisan sumber daya alam, pengasaman, pembentukan ozon fotokimia, eutrofikasi, toksisitas pada manusia, dan toksisitas perairan. Evaluasi menunjukkan bahwa bahan berbasis bio mungkin mempunyai dampak yang lebih tinggi dalam kategori seperti eutrofikasi dan penipisan ozon stratosfer, dengan variabilitas dalam pengasaman dan pembentukan ozon fotokimia.

Membandingkan PE berbasis bio dengan PE berbasis minyak bumi menunjukkan dampak lingkungan yang berbeda-beda, dimana PE berbasis bio menunjukkan dampak yang lebih rendah terhadap perubahan iklim, kabut asap musim panas, dan konsumsi sumber daya fosil, namun dampak yang lebih tinggi pada potensi pengasaman, eutrofikasi, toksisitas terhadap manusia, konsumsi air, total kebutuhan energi primer, dan penggunaan lahan.

Mengenai masa pakainya yang sudah habis, pengomposan plastik dipandang sebagai pilihan yang menarik bagi lingkungan, namun tidak semua plastik berbasis bio dapat terurai secara hayati. Meskipun terdapat beberapa plastik biodegradable, seperti polimer campuran pati dan PLA, degradasinya dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan di tempat pembuangan sampah. Sangat penting untuk menentukan kondisi dan jangka waktu di mana jenis plastik tertentu dapat terurai, karena banyak jenis plastik yang memerlukan pengomposan industri yang terkendali.

Daur Ulang Plastik  

Daur ulang dianggap penting untuk kelestarian lingkungan, karena umumnya memiliki dampak siklus hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan produksi bahan baku. Namun, hanya 14% plastik yang dikumpulkan dan didaur ulang, dan sebagian besar plastik daur ulang didaur ulang menjadi aplikasi yang bernilai lebih rendah, sehingga membatasi kemampuannya untuk memasuki putaran daur ulang berikutnya.

Potensi daur ulang sampah plastik di UE sebagian besar masih belum tereksploitasi, dengan tingkat penggunaan kembali dan daur ulang yang rendah dibandingkan bahan lain seperti kertas, kaca, atau logam. Berbagai faktor berkontribusi terhadap situasi ini, termasuk kerugian material selama penggunaan produk, pengumpulan yang tidak tepat, dan degradasi selama pemrosesan (downcycling), penumpukan stok, hambatan desain produk, infrastruktur limbah yang tidak memadai, kontaminasi, dan faktor ekonomi.

Daur ulang mekanis, yang melibatkan penyortiran, penggilingan, pencucian, dan ekstrusi, adalah metode paling umum untuk mendaur ulang plastik kemasan. Namun, tantangan muncul dengan sistem pengemasan makanan berlapis-lapis, yang mengandung polimer yang tidak dapat dipisahkan, dan teknologi daur ulang bahan kimia diusulkan sebagai alternatif bahan yang tidak cocok untuk daur ulang mekanis.

Bahan kemasan berbasis bio, meskipun memperkenalkan polimer baru, masih memerlukan desain untuk meningkatkan kemampuan daur ulang guna mendukung transisi menuju ekonomi sirkular. Plastik yang dapat dibuat kompos seperti PLA menghadapi tantangan dalam infrastruktur daur ulang, karena sulit dibedakan dari PET dan dapat mencemari daur ulang PET jika tidak disortir secara efektif.

Risiko kesehatan manusia mungkin timbul dari kontaminan dalam plastik daur ulang yang berpindah ke makanan kemasan. Kontaminan potensial mencakup monomer dan aditif yang tidak resmi, kontaminan dari penyalahgunaan, produk konsumen non-makanan, bahan kimia dari bahan kemasan lain, dan bahan-bahan yang ditambahkan selama proses daur ulang. Proses daur ulang harus memastikan tingkat kontaminasi yang aman sesuai dengan peraturan UE, dengan penilaian keamanan dilakukan oleh Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) berdasarkan kasus per kasus. Kriteria khusus untuk mendaur ulang berbagai plastik telah ditetapkan, namun diperlukan lebih banyak data untuk penilaian keamanan yang lebih baik, terutama untuk polimer seperti PE dan PP.

Diskusi mengenai kemasan makanan berkelanjutan menekankan semakin pentingnya keberlanjutan dalam industri makanan. Pertimbangan utama mencakup produksi bahan yang aman, ramah lingkungan, hemat biaya, dan diproduksi menggunakan energi terbarukan. Meskipun plastik berbahan dasar minyak bumi saat ini mendominasi kemasan makanan karena sifatnya yang sangat baik, kekhawatiran akan kelangkaan sumber daya fosil dan dampak lingkungan, termasuk emisi CO2, telah mendorong minat terhadap plastik berbasis bio.

Bahan berbasis bio, seperti bio-PET, bio-PP, bio-PE, PLA, dan PHA, menawarkan alternatif terhadap plastik berbasis minyak bumi. Biopolimer alami seperti polisakarida dan protein dieksplorasi karena kelimpahannya, biaya rendah, dan kemampuan terurai secara hayati. Namun, terdapat tantangan seperti hidrofilisitas dan sifat penghalang yang tidak memadai. Meningkatkan efisiensi produksi bahan baku berbasis bio sangat penting untuk meningkatkan keberlanjutan.

Pemilihan bahan baku sangatlah penting; bahan baku generasi kedua dari limbah pertanian lebih disukai untuk menghindari konflik dengan produksi pangan. Daur ulang dianggap penting untuk mengurangi dampak lingkungan, dengan daur ulang mekanis menjadi metode yang lebih disukai. Tantangan muncul pada sistem pengemasan makanan berlapis-lapis, yang berdampak pada kemampuan daur ulang bahan-bahan berbasis bio.

Plastik yang dapat terbiodegradasi atau dibuat kompos bukanlah obat mujarab, karena pembuangan TPA berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Pengomposan industri mungkin menunjukkan dampak lingkungan yang paling besar. Fokus pada pertimbangan akhir masa pakai dalam penilaian siklus hidup menunjukkan bahwa kemampuan daur ulang, dibandingkan kemampuan terurai secara hayati, harus menjadi prioritas. Merancang kemasan yang dapat didaur ulang dan bersifat sirkularitas sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang.

Bahan kemasan plastik yang inovatif, baik berbahan dasar bio atau minyak bumi, harus memprioritaskan parameter utama keberlanjutan:

  • Hambatan Optimal: Bahan harus memiliki hambatan terbaik untuk meningkatkan umur simpan pangan dan meminimalkan kehilangan pangan

     

  • Daur ulang: Kemasan harus dirancang untuk daur ulang mekanis, dengan preferensi pada bahan plastik mono yang mempertahankan sifat fungsional dan keamanan bahan kimia selama daur ulang.

     

  • Produksi Berbasis Bio yang Efisien: Bahan berbasis bio harus diproduksi secara efisien dari bahan baku generasi kedua untuk menghindari konflik dengan produksi pangan.

     

  • Bahan Kimia yang Menjadi Perhatian: Penghindaran bahan kimia berbahaya mengurangi dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta menurunkan biaya pengelolaan limbah.

    Bahan kemasan plastik berbasis bio diakui memiliki dampak yang lebih kecil terhadap perubahan iklim dibandingkan dengan bahan konvensional. Namun, penilaian siklus hidup (LCA) yang komprehensif harus mempertimbangkan berbagai dampak lingkungan dari bahan berbasis bio. Dampak iklim dan lingkungan secara keseluruhan dari sistem pengemasan/makanan harus dinilai sepanjang siklus hidupnya, dengan tujuan meminimalkan beban lingkungan melalui desain yang cermat.

    Merancang kemasan makanan berkelanjutan adalah tugas kompleks yang memerlukan pertimbangan berbagai parameter. LCA berfungsi sebagai alat yang berharga untuk mengukur dan membandingkan dampak lingkungan, memberikan landasan informasi dan holistik untuk pengambilan keputusan guna meningkatkan keberlanjutan kemasan makanan.

    Referensi:

    Ana C. Mendes, Gitte Alsing Pedersen, Perspektif mengenai kemasan makanan berkelanjutan:– apakah plastik berbasis bio merupakan solusi,Trends in Food Science & Technology,Volume 112, 2021, Halaman 839-846, ISSN 0924-2244, https:// doi.org/10.1016/j.tifs.2021.03.049.